Senin, 04 Maret 2019

Mengenang Revsos Simalungun

https://dira2017.wordpress.com/2017/02/25/amarah-latar-gerak-dan-ambruknya-swapraja-simalungun-3-maret-1946/

Anggaran Elkana Saragihras atau dikenal A.E. Saragihras adalah pejuang penegak proklamasi dan kemerdekaan di Simalungun. Ia adalah militer berpangkat Mayor yang didik oleh Kapten Inoue di era pendudukan Jepang. Pada tahun 1948, pada saat Soekarno menerima rumusan KMB yakni Republik Indonesia Serikat-menandai lahirnya-Negara Sumatera Timur, Saragihras sangat terpukul. Kemudian, pasca pemulihan kedaulatan tahun 1949, Saragihras dianggap buronan (desersi) karena menolak panggilan Kawilarang (Ko. TTSU). Penolakan tersebut terkait dengan penolakannya untuk hadir di Jakarta atas undangan Soekarno maupun karena kisruh antar militer di Tapanuli Selatan. Pada akhirnya, di tanggal 22 Agustus 1950, Saragihras ditangkap dan ‘dijual’ ke penjara. Ia dipenjarakan di Sukamulya Medan maupun di penjara Polisi Militer di Pamatang Siantar. Kemudian pada akhir tahun 1952, Saragihras di vonnis bebas murni dari berbagai tuduhan yang dialamatkan kepadanya.
Selama di penjara, ia mengalami pergumulan bathin. Pergumulan tersebut ditambah dengan derita asma dan TBC yang menggerogotinya.  Pada awal tahun 1953, kondisi fisiknya mulai melemah dan akhirnya meninggal dunia setelah bebas dari penjara. Tindakannya dalam revolusi sosial 3 Maret 1946, yakni penghapusan swapraja khususnya di Simalungun banyak dihujat karena dianggap telah menghilangkan nyawa, harta benda, maupun istana swapraja. Bagi negara ini, Saragihras adalah pahlawan bangsa di Simalungun yang menegakkan proklamasi dan kemerdekaan.

Dorongan terbesar untuk menulis peristiwa Revolusi Sosial 3 Maret 1946 di Simalungun adalah untuk memberi pemahaman dan gambaran tentang kejadian yang menandai ambruknya swapraja di wilayah ini. Penulisan ini juga penting karena revolusi di masa lalu itu telah menyebabkan rontoknya sebuah peradaban di Simalungun. Di sisi lain penjelasan tentang seputar peristiwa itu sangat minim. Dengan demikian buku ini diharapkan bisa melengkapi literatur yang ada untuk membahas revolusi sosial khususnya di Simalungun.
Pilihan judul ‘Amarah’ didasarkan pada pertimbangan bahwa  penghapusan swapraja di Simalungun dan Melayu cenderung memunculkan perilaku barbar, kriminalitas dan vandalistik dari pelaku-pelaku revolusi. Walaupun rencana penghapusan swapraja mengalami proses panjang sejak Desember 1945 di Medan,  tetapi implikasinya justru berbuah tragis. Sewaktu dijalankan, revolusi sosial justru berubah menjadi amarah massa yang bersifat eksplosif. Hebatnya lagi, revolusi itu dijalankan sebagai niatan balas dendam terhadap raja yang dinyatakan menolak mainstream pada saat itu yakni proklamasi dan kemerdekaan. Akibatnya, revolusi berjalan diluar kendali berupa pembunuhan, penjarahan, perampokan, pemerkosaan, pembakaran istana maupun pemenggalan raja dan sultan.
Jadi, penolakan terhadap proklamasi dan kemerdekaan inilah sebenarnya menjadi faktor utama munculnya amarah massa pada saat berjalannya revolusi sosial itu. Ditambah lagi situasi kemiskinan dan kemelaratan masyarakat yang kontras berbeda dengan kehidupan swapraja yang serba mewah, mengakibatkan kompleksnya gerakan itu. Tentu saja, gerakan massa seperti ini setelah terlebih dahulu dikipasi oleh sejumlah elit bangsa dan mendapat dukungan luas dari berbagai elemen pemimpin bangsa pada waktu itu seperti pemerintah, militer, partai maupun laskar pemuda.
Namun, melihat jalannya revolusi maka terdapat perbedaan alur gerakan di Simalungun dan Melayu dengan Karo.
Jika di Simalungun dan Melayu, swapraja (Raja dan Sultan serta kerabatnya) kebanyakan ditangkap dan dibunuh, dirampok, diperkosa dan istananya dibakar, tetapi kecenderungan seperti ini tidak terjadi di Karo. Di wilayah yang disebut terakhir ini, swapraja memang dihapuskan tetapi para sibayak yang ditangkap dan ditawan serta diungsikan ke Aceh tanpa melakukan pembunuhan. Akhirnya, revolusi memakan korban. Swapraja dihapuskan dan diganti dengan iklim republik.
Pada waktu terjadinya gerakan massa, susunan masyarakat di Sumatera Timur pada saat itu dapat digolongkan kepada beberapa kelompok, yaitu masyarakat asli (host population) seperti Melayu, Simalungun dan Karo yang patuh terhadap pemimpin tradisionalnya. Tetapi disisi lain, terdapat pula masyarakat pendatang (migrant population) baik sebagai coeli contract (seperti Jawa, Tionghoa dan India Tamil), maupun pendatang penggarap seperti Toba.  Empat etnis yang disebut terakhir ini, tidak memiliki pemimpin tradisional dan hanya patuh dan tunduk kepada pemerintah kolonial.
Walaupun tertata seperti itu, baik host population maupun migrant population sama-sama memiliki sakit hati kepada pemerintah tradisional dan pemerintah kolonial. Hal mana ialah bahwa jika host population banyak kehilangan tanah-tanah karena digadaikan oleh swapraja kepada pemerintah kolonial, maka migrant population hanya bekerja ‘makan gaji’ dari perkebunan milik asing ataupun berdagang.
Kondisi demikian ini, telah menimbulkan konfrontasi sebagaimana disebutkan oleh Stoler (2006) yakni munculnya kapitalisme dan konfrontasi di perkebunan Sumatera Timur. Lebih jauh lagi, antara host population dan migrant population ini menimbulkan sengketa agraria sebagaimana yang disebutkan oleh Pelzer (1984). Kondisi seperti inilah sebagai faktor sekunder perihal munculnya gerakan sosial untuk menghapus swapraja di Sumatera Timur.
Persoalan lainnya ialah, tidak adanya elit (penguasa) dominan sehingga cenderung abai terhadap kesatuan komando dan perintah. Pemerintahan sipil yang dipegang oleh Hasan dan Amir (sebagai gubernur dan wakil gubernur) tampaknya tidak memiliki kuasa mutlak memerintah karena sering ‘didikte’ oleh Markas Agung (Sarwono, Xarim maupun Jacob Siregar). Demikian pula angkatan perang (Barisan Pemuda Indonesia, BPI) dibawah pimpinan Ahmad Tahir, tidak punya pengaruh kuat di Sumatera Timur. Kondisi demikian ini diperparah kemudian oleh adanya kesatuan laskar perang baik ‘beraliran etnis maupun beraliran partai’ yang kurang dapat menyatu dibawah BPI.
Memang, pada saat itu, kekuasaan sepertinya menumpuk pada Markas Agung dengan organisasinya yakni Badan Perjuangan (Volksfront). Tetapi, keberadaan mereka ini kurang mendapat legitimasi sebagai penguasa karena adanya pemerintahan sipil yang plinplan. Keadaan demikian inipun menjadi faktor sekunder mengerucutnya rencana penghapusan swapraja di Sumatera Timur.
Pada dasarnya buku terkait tema revolusi sosial di Simalungun hingga saat ini masih sangat minim. Jikapun ada hanyalah berupa  skripsi, tesis ataupun kertas kerja yang disajikan di seminar-seminar. Tulisan-tulisan tersebut sering merupakan karangan atau kajian lepas dan biasanya disajikan hanya dengan menyoroti satu permasalahan saja. Misalnya, dijasikan isu terkait pertentangan dengan arus kemerdekaan yang saat itu masih hangat. Kajian-kajian terdahulu itu cenderung melihat revolusi sosial sebagai bentuk kulminasi dari pembangkangan swapraja. Di sisi lain fenomena revolusi pada saat itu dipandang sebagai tindak kriminal, barbar dan vandalistik.
Belum lagi bahwa membicarakan revolusi sosial ini dianggap tabu, mengungkit masa lalu yang dapat menaruh dendam antara keturunan pelaku dan korban. Itulah sebabnya, membicarakan revolusi sosial ini di Simalungun, baik dalam-katakanlah seminar atau omongan warung kopi sangat jarang terjadi. Hal ini boleh jadi karena pelaku dan korban revolusi adalah sesama anak bangsa Simalungun. Bilapun harus menyinggung tema ini dalam seminar tadi, maka spontan saja ada peserta yang menghujat pelaku revolusi. Namun demikian, terdapat juga peserta lain yang melihat persoalan revolusi ini secara objektif.
Revolusi sosial 1946, terlepas dari berbagai faktor penyebabnya, dapat dipandang sebagai gerakan penghancuran swapraja di Simalungun maupun diwilayah Sumatera Timur lainnya. Gerakan penghancuran ini diawali dengan pemberian label ‘feodal’, ‘anti republik’, ‘kebarat-baratan’ ‘kemewahan’ disatu pihak dengan ‘kemiskinan’, ‘kemelaratan’,  ‘penindasan’ dipihak lain. Akibat paradoks yang demikian maka konklusi yang dianggap paling ‘bijak’ adalah swapraja di Sumatera Timur harus dilenyapkan. Pada akhirnya, pilihan terhadap revolusi atas nama sosial itu, telah membawa takdir swapraja di Sumatera Timur untuk diakhiri.
Pembangkangan ataupun kekurangpuasan terhadap nilai-nilai, struktur sosial, pranata sosial maupun kebijakan penguasa pada saat itu, dianggap sebagai kesewenangan yang bertentangan dengan mainstream atau arus utama proklamasi dan kemerdekaan. Oleh karena itu, dari sudut pandang pelaku revolusi, peristiwa ini dianggap sebagai ‘pembebasan terhadap penindasan’. Pembebasan tersebut bukan saja terkait dengan ‘feodalisme’ tetapi juga penegakan proklamasi serta bertujuan mengusir kolonialis dari Simalungun.
Dari sudut para korban dan keluargan korban, peristiwa tersebut dipandang sebagai akibat sikap iri hati  terhadap kelas teratas dalam susunan masyarakat tradisional saat itu. Kenyataan sosial pada saat itu menunjukkan bahwa gelora kemerdekaan sedang menumbuh, kesadaran terhadap nasionalisme (kebangsaan), semangat keprajuritan sedang terbentuk. Oleh karenanya hambatan-hambatan untuk meraih identitas nasional (kedaulatan bangsa) harus dibayar dengan terbayar, tidak peduli siapakah yang menjadi korban ataupun seperti apa revolusi itu dijalankan.
Revolusi sosial di Simalungun semakin nyata dengan adanya kelas-kelas (stratifikasi sosial) yang tegas. Pada era kolonialisme, stratifikasi sosial itu ialah bangsawan (raja dan keturunannya), paruma (orang kaya non bangsawan) dan jabolon (budak). Oleh karenanya, sekali suntikan feodalisme yang dialamatkan kepada bangsawan yang dinyatakan juga anti-proklamasi dan juga identik dengan kemewahan itu, maka revolusi menjalar dengan hebatnya. Bahkan, kurang dari 4 (empat) hari, 5 (lima) dari 7 (tujuh) kerajaan Simalungun dan serta puluhan partuanan (semacam kedatukan yang berada dibawah pusat kerajaan) menemui ajalnya.
Pada saat itu, semangat pemuda yang mengemban cita-cita nasional bergetar dengan hebatnya, lepas dari pengendalian kontrol praksis pemerintahan di pusat kekuasaan.
Situasi fabrikasi sosial yang semakin kacau di Sumatra Timur terus dipergunakan demi propaganda Belanda, Sekutu dan Jepang. Ini bertujuan untuk membuktikan ketidakmampuan republik untuk merdeka. Akan tetapi di sisi lain semakin bergelora pula tekad para pemudanya untuk mendukung dan mempertahankan suatu identitas nasional.
Demikianlah akhirnya gerakan tersebut berjalan dari sebuah markas komando untuk menghapus swapraja di Sumatera Timur. Di pusat komando, terdapat sejumlah pemimpin bangsa, yang sepertinya ‘merestui’ gerakan tersebut, yakni oleh mereka yang memegang kendali di pemerintahan sipil, pemimpin partai, pemimpin barisan pemuda, maupun pemimpin militer.
Menelaah bab-bab literatur tentang sejarah kolonialisme di Sumatera Timur, khususnya periode 1945-1949, jelas sekali swapraja dipandang  sebagai kelompok yang anti-kemerdekaan, anti-proklamasi dan anti-nasionalisme.
Stigma seperti ini bersumber dari mereka sebagai penulis biografi, pelaku sejarah era revolusi sosial dan purnawirawan yang cenderung menganggap kelompok swapraja bertentangan dengan arus utama saat itu yakni kemerdekaan dari penindasan. Kebanyakan penulis yang mengurai revolusi sosial pada kelompok ini adalah sebagai dampak dari anti-kemerdekaan pada umumnya menyebutkan bahwa feodalisme adalah hambatan terberat untuk menegakkan proklamasi dan kemerdekaan di Sumatera Timur.
Berangkat dari asumsi demikianlah sehingga proklamasi dikatakan terlambat di Sumatera Timur, yang baru dikumandangkan pada tanggal 6 Oktober 1945 di Lapangan Merdeka Medan. Dengan begitu, alasan penghapusan swapraja ialah ketidakberpihakan kaum swapraja terhadap proklamasi dan kemerdekaan yang merupakan mainstream pada waktu itu.
Kecuali penulis sejarah seperti Mohammad Said (1973;1976) pandangan yang berbeda dari penulis pertama dicerminkan oleh penulis asing yang cenderung menganalisis revolusi sosial secara objektif. Mereka ini mengemukakan bahwa revolusi sosial 1946 adalah kulminasi dari luapan berbagai perasaan bernada kekecewaan dan bukan semata-mata karena stigma feodalisme ataupun sikap anti-republik swapraja. Bisa jadi, penulisan sejarah tentang Revolusi Sosial terlengkap di Sumatera Timur bersumber dari tulisan yang dikerjakan oleh Anthony Reid (1987). Salah satu keberhasilan Reid dalam tulisannya itu ialah sumber-sumber sejarah yang dapat dikatakan lengkap.
Kecuali luapan bernada kekecewaan, ataupun stigma feodalisme dan anti proklamasi, juga muncul analisis lain yang memandang revolusi sosial sebagai bentuk konflik antar etnis dan pertentangan kelas di Sumatera Timur. Penulisan seperti ini dilakukan oleh van Langenberg (1982). Dalam pandangan kami, adalah terlalu jauh mengaitkan antara revolusi sosial dengan konflik etnik. Asumsi kami bahwa, gelora kemerdekaan maupun semangat proklamasi pada penghujung tahun 1945, dimana setiap bentuk penolakan terhadap proklamasi dianggap sebagai ‘kaki tangan’ kolonialisme, adalah faktor utama yang mendorong lahirnya revolusi dan bukan karena adanya pertentangan antar etnik dan kelas.  Terlepas dari asumsi ini, kemunculan analisis van Langenberg ini tentu saja telah mewarnai analisis menyoal revolusi sosial di Sumatera Timur.
Namun sangat disayangkan bahwa kelompok-kelompok pemuda revolusioner, anggota volksfront maupun Persatuan Perjuangan,  jarang menulis biografi dan pandangan mereka terhadap peristiwa ini. Akibatnya, uraian peristiwa menurut versi mereka ini cenderung nihil dan pada akhirnya penulisan sejarah yang ada tentang revolusi sosial cenderung di dominasi oleh penguasa atau sumber resmi pemerintah.
Perlu dipahami bahwa, anggota Badan Perjuangan (volksfront) maupun Markas Agung seolah-olah menjadi tumbal dari revolusi sosial. Kepada mereka dilekatkan predikat ‘pemikir revolusiner’ yang bertindak radikal serta dilingkupi oleh paham ‘komunisme’. Situasi inilah yang menyebabkan, anggota volksfront dan Markas Agung ini dianggap sebagai biang kerok revolusi yang menewaskan ratusan keluarga raja dan kerabatnya. Padahal, revolusi sosial tanggal 3 Maret 1946, tidak mungkin berjalan dengan sempurna tanpa adanya ‘restu’ dari petinggi republik (wakil gubernur Sumatera) maupun pimpinan militer, serta laskar rakyat (batalion etnik maupun batalion partai) yang pada saat itu mulai gerah melihat sikap swapraja.
Umumnya, tulisan tentang revolusi sosial di Sumatera Timur kebanyakan merupakan bab-bab buku yang ditulis oleh para penulis (pelaku sejarah) yang digabung dengan riwayat perjuangannya. Mereka itu adalah para purnawirawan ataupun eks pemimpin bangsa yang berjuang di Sumatera Timur. Misalnya seperti Selamat Ginting, Bedjo, L. Malau, HMD. Harahap, Maraden Panggabean, Achmad Tahir, Mr. Hasan, dan lain-lain. Buku yang ditulis oleh mereka ini berada pada periode 1942 hingga akhir hidupnya. Jadi, uraian tentang revolusi sosial cenderung sedikit saja, yakni pada bagian mana dirinya bertindak.  Oleh karena itu, penulis-penulis ini berbeda dengan Reid (1987), Said (1973) maupun Langenberg (1982) yang secara khusus membahas tentang revolusi sosial.
Begitupun keluarga atau kerabat korban, jarang sekali menuliskan  pengetahuan mereka terhadap malam peristiwa dimana ayah atau leluhurnya menjadi korban amukan massa. Kealpaan ini berdampak pada kesulitan untuk menguraikan perihal jalannya revolusi di wilayahnya (swapraja yang bersangkutan) maupun korban akibat revolusi itu. Kealpaan seperti ini telah menghantarkan deskripsi bahwa peristiwa revolusi sosial cenderung konstruksi dari para penulis biografi yang berasal dari purnawirawan yang menanggap bahwa revolusi sosial terjadi akibat adanya pembangkangan terhadap cita-cita luhur proklamasi.
Buku ini ditulis dengan telaah kepustakaan (literatur) yang dikerjakan dengan cukup hati-hati. Kehati-hatian ini muncul karena mengingat sensitifnya masalah ini untuk dibahas dan ditulis. Sebagaimana yang kami sebutkan diawal, bahwa membicarakan revolusi sosial acapkali dianggap sebagai membangkitkan amarah dan dendam masa lalu. Oleh karena itu, pengerjaan buku ini menelan waktu yang cukup lama karena harus membaca puluhan buku, jurnal maupun karangan lain yang pernah menguraikan masalah ini. Oleh karena itu, pandangan-pandangan berbagai penulis terdahulu tetap ditampilkan kendati menyuguhkan sesuatu isi yang berbeda dengan pandangan umum terhadap revolusi sosial.
Cara ini dilakukan bukan hanya kepada mereka yang menjadi keturunan para korban revolusi tetapi juga kepada beberapa keturunan para pelaku revolusi. Mereka ini adalah generasi kedua dari korban dan pelaku revolusi sosial yang kini banyak bermukim di wilayah Siantar Simalungun. Eksodusnya mereka ini adalah pasca revolusi sosial untuk menghindari stigma feodal sekaligus ‘menyamarkan’ diri mereka dari peristiwa revolusi berdarah itu.
Sebagaimana diketahui bahwa, sejak pecahnya revolusi sosial tahun 1946, banyak diantara keturunan korban revolusi itu ‘bermigrasi’ keluar dari Siantar-Simalungun. Diantara mereka ada yang menghilangkan atau mengganti marga, tidak mengaku sebagai keturunan bangsawan (korban), menutup rapat peristiwa revolusi sosial karena tidak ingin mengingat-ingat masa lalu leluhurnya, ataupun tidak mau mengeluarkan ‘sumpah serapah’ terhadap pelaku revolusi sosial di Simalungun.
Sebenarnya banyak diantara pelaku dan korban yang masih memiliki hubungan famili (kerabat), tetapi pasca peristiwa itu, mereka tidak pernah bertegur sapa. Kenyataan seperti ini tidak hanya terjadi pada generasi kedua, tetapi berlanjut ke generasi ketiga dari korban dan pelaku. Dengan begitu, mereka ini bermaksud mengubur peristiwa 68 tahun silam tanpa selembar tulisan pun dan menganggapnya sebagai sebuah kecelakaan sejarah. Bagi mereka ini, menulis atau mengingat-ingat revolusi sosial, adalah membangkitkan dendam yang telah mereka kuburkan selama ini.
Buku ini disusun dalam beberapa bab sesuai dengan substansi tulisan tentang revolusi sosial. Tiap bab mengupas dan menjelaskan tema-tema tersendiri. Bab-bab tersebut diuraikan secara detail menyangkut tempat, waktu dan aksi sehingga menggambarkan kronologi peristiwa revolusi sosial. Begitu juga, sumber-sumber rujukan diupayakan sebaik mungkin sehingga tidak ‘melulu’ memperlihatkan ‘konstruk’ dari penulis terdahulu. Upaya seperti ini ditempuh untuk menghindari bias dan interpretasi yang dianggap ‘menghakimi’ korban dan pelaku.
Sebagaimana yang dikemukakan oleh Louis Gotschalk dalam bukunya ‘Memahami Sejarah’ bahwa kronologis peristiwa sangat penting dalam menulis sejarah. Urgensi kronologis ini ialah untuk mereduksi subjektivitas yang kerab menyertainya. Dengan begitu dapat dipahami bahwa kekuatan sejarah terletak pada kemampuan mengurai kronologis ini yang didukung oleh arsip (sumber) sejarah yang memadai. Dari uraian kronologis dan dukungan arsip itu, para penulis kemudian menginterpretasi lalu membentuk narasi (mengkontruksi) dan menyimpulkannya. Jadi, sejarah tidak bisa memenuhi kebenaran mutlak atas peristiwa masa lalu, tetapi mencoba dan berupaya mereduksi subjektivitas dalam setiap penulisan sejarah atas peristiwa masa silam itu.
Demikianlah buku ini ditulis berdasarkan sumber-sumber sejarah berupa buku, jurnal, skripsi maupun thesis yang dikumpulkan kurang lebih 7 (tujuh) bulan lamanya. Sumber-sumber tersebut, baik yang ditulis oleh purnawirawan, peneliti sejarah, maupun pelaku sejarah revolusi sosial, dengan berbagai kelemahan dan kelebihannya menjadi acuan utama dalam menulis narasi ini.
Sebagai penulis, kami telah berupaya semaksimal mungkin mengarah ke prinsip demikian itu. Pada intinya, dalil-dalil penulisan sejarah yang objektif tetap kami pertahankan sehingga penulisan buku ini dapatlah dikatakan telah berkurang kadar subjektifitasnya. Walaupun demikian, buku ini tetap memberikan ruang diskusi, debat dan sekaligus dialog kepada kalangan pembaca. Tentu saja kami tetap tunduk dan bertanggungjawab terhadap disiplin ilmu yang masing-masing kami pedomani. Mengapa? Kami sadar betul bahwa, menulis sejarah seperti Revolusi Sosial di Simalungun ini akan memunculkan pro dan kontra!. Ada tiga hal yang ingin kami sampaikan.
Pertama, disatu sisi, para korban revolusi sosial (swapraja) tidak ingin disebut feodal, anti-proklamasi dan anti-kemerdekaan, sedangkan disisi lain para eksekutor revolusi (Barisan Harimau Liar pimpinan A.E Saragihras) atas nama semangat nasionalisme dan proklamasi sesuai instruksi yang diterimanya harus menyingkirkan setiap bentuk-bentuk anti-proklamasi itu. Menyangkut hal ini, telah banyak dibahas pada sejumlah tulisan dan kepada kita tergambar bahwa revolusi sosial terjadi karena adanya sikap penolakan swapraja terhadap proklamasi dan kemerdekaan. Konstruksi demikian itu telah membawa dan membentuk semacam ‘kesadaran’ bagi masyarakat bahwa revolusi sosial ‘memang harus dijalankan’, entah itu harus memakan korban dari bangsanya sendiri.
Kedua, revolusi sosial adalah konspirasi dari sejumlah elit di Sumatera Timur untuk menghapus swapraja. Konspirasi itu dimulai dengan rencana rahasia oleh pejuang dan pemikir proklamasi revolusioner yakni Markas Agung, kemudian proses penghapusan swapraja diorganisir oleh Badan Perjuangan (volksfront) dan kemudian ‘direstui’ oleh pemerintah sipil (Dr. Amir) dan pimpinan tertinggi militer (Ahmad Tahir) dan didukung oleh sejumlah laskar pemuda yakni ‘batalion etnik dan batalion partai’.  Walaupun pada akhirnya, konspirasi elit ini kemudian menjadi buyar sehari setelah terjadinya revolusi sosial dan bergeser ke gejala perebutan kekuasaan. Pada akhirnya, pihak Markas Agung  ‘memaksa’ Gubernur Hasan untuk mengakhiri pemerintahan militer yang digantikan oleh pemerintahan sipil. Jadi, rencana penghapusan swapraja itu didahului sejumlah proses dialog antara sejumlah elit di Sumatera Timur yang menginginkan hapusnya swapraja. Pada akhirnya, berjalanlah revolusi berdarah tersebut.
Ketiga, lebih khusus tentang revolusi sosial di Simalungun bahwa  revolusi itu lebih dianggap sebagai tindakan anarkhis yang dilakukan oleh Barisan Harimau Liar (BHL) pimpinan Saragihras. Tindakan ini dianggap sebagai aksi kriminal dan barbar serta vandalistik karena gerakannya justru berbuah perampokan, pembunuhan, pembakaran dan pemenggalan swapraja. Upaya penghapusan swapraja ini juga dianggap sebagai genosida maupun ethnic cleansing terhadap elit terpelajar oleh ‘pejuang’ pengangguran dan uneducated. Barangkali, apa yang dimaksud dengan genosida dan ethnic cleansing, maupun ‘pejuang’ pengangguran dan uneducated itu perlu diperjelas lagi. Pertanyaan sederhananya ialah, apakah dengan melenyapkan swapraja telah dianggap sebagai genosida dan ethnic cleansing?. Atau, sudahkah ada lapangan kerja yang terbuka bagi warga pribumi (inlanders) pada saat itu?, dan apakah warga pribumi non swapraja telah merasakan dan mengecap pendidikan sebagaimana yang dirasakan oleh kalangan swapraja?.
Jadi, terlepas dari revolusi yang terjadi di Simalungun dengan berbagai ekses-ekses maupun varian-variannya, yang jelas ialah bahwa revolusi sosial ini nyata telah menghapus tradisi swapraja ke alam baru yakni republik. Oleh karena itu, produk akhir dari gerakan sosial ini adalah punah dan ambruknya pemerintahan monarhi Simalungun untuk selama-lamanya.
Buku ini ditulis tanpa ada tujuan untuk mendiskreditkan pelaku ataupun korban dari keganasan revolusi sosial yang melanda swapraja Simalungun. Tetapi, buku ini murni disusun untuk kepentingan ilmu pengetahuan terutama sejarah pada periode 1945-1946. Harapan kami sudah barang tentu adalah semoga buku ini mampu memberikan cakrawala berupa pengetahuan dan pemahaman baru bagi pembaca. Selamat membaca!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar